Istri Tidak Wajib Mencuci atau Memasak?

Benarkah dalam Islam, Istri Tidak Wajib Mencuci atau Memasak dalam Rumah Tangga?
Saya banyak memperoleh informasi berkenaan dengan pertanyaan di atas, melalui obrolan dan utamanya banyak artikel yang di sharing di media sosial yang menyatakan dengan yakin, bahwa tidak ada kewajiban istri terhadap masalah tersebut. Untuk itu, saya mencoba mencari informasi atau jawaban yang sebenarnya. Berikut saya kutip dari berbagai sumber yang mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan atau pernyataan di atas.

Pertanyaan ini sangat menarik, karena tradisi yang berkembang di masyarakat kita di antara kewajiban seorang istri adalah mengurus rumah tangga dengan pekerjaan mencuci, memasak, dan lainnya. Sementara tradisi yang berkembang di Timur Tengah, yang biasa belanja ke pasar adalah para suami, dan pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami dengan menggaji pekerja rumah tangga, itu pun karena umumnya para suami di Timur Tengah dewasa ini berkecukupan dari segi finansial.

Para ulama berbeda pandangan dalam hal ini, diantaranya :

1. Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam kitabnya Al-Wajiz Fi Ahkamil Usroh al-Islamiyah dan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa sebagian fuqaha berpandangan seorang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena akad nikah yang terlaksana antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan.

2. Pendapat lain mengatakan, Allah ‘azza wa jalla berfirman :
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa':19)
“Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqoroh: 228)
Dan yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat-ayat ini, adalah sesuatu yang dikenal dan berlaku di kebiasaan masyarakat muslimin dan tidak bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Maka wajib atas seorang istri untuk mempergauli suaminya sebagaimana yang berlaku dalam kebiasaan masyarakat selama tidak menyelisihi syariat Allah. Dan telah ada kebiasaan yang berlaku di masyarakat muslim dahulu dan sekarang bahwasanya istri melayani suaminya. Dan seorang wanita hanya dapat melayani suaminya dengan sempurna di dalam rumahnya. Kedua ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwasanya wajib atas seorang istri wajib memperlakukan dan mempergauli suaminya dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat tanpa meremehkan atau berlebih-lebihan dalam perkara ini. Dan telah kami sebutkan bahwasanya kebiasaan yang ada sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini adalah seorang istri melayani suaminya.

3. Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para istri agar taat kepada suami mereka. Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dengan sabda Beliau, “andaikan aku dibolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, sungguh aku akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya”. Ini karena besarnya hak suami atas istrinya. Dan apabila suami memerintahkan sesuatu kepada istri dan sang istri menolaknya sehingga membuat marah sang suami, maka akan marah pula para malaikat rahmat. Maka jika suami memerintahkan kepada istri untuk melayaninya, wajib atas istri untuk menurutinya. Ini merupakan hukum syar’i dan inilah pendapat mayoritas ulama dan inilah yang benar.

4. Sementara fuqaha yang lain berpendapat, melayani suami dan melakukan pekerjaan rumah merupakan kewajiban istri. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang perempuan telah mengerjakan shalat fardhu lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” Maka seorang istri, ketika diperintahkan suaminya untuk mencuci dan memasak, ia harus menaatinya. Karena melayani suami dengan memasakkan makanan dan mencuci pakaiannya merupakan bagian dari ketaatan pada suami. Nabi saw dan para sahabat Nabi menyuruh istri-istrinya membuatkan roti, memasak, membersihkan tempat tidur, menghidangkan makanan, dan sebagainya. Tidak seorang pun dari mereka yang menolak pekerjaan tersebut.

Lalu saya ingin berpesan, untuk setiap mereka yang berucap kepada orang-orang agar mereka paham bahwa tidak setiap yang diketahui itu disampaikan. Dan selayaknya atas mereka untuk berucap tentang hal-hal yang memperbaiki kehidupan mereka, menyebarkan kebahagiaan dalam keluarga-keluarga mereka. Karena kebahagiaan keluarga adalah suatu hal yang dicari-cari dan diidam-idamkan. Bagaimana mungkin ada kebahagiaan antara suami dan istrinya jika sang istri mendengar dari orang yang berilmu atau nampak berilmu berkata pada dirinya “tidak wajib atas anda melayani suami Anda”. Sehingga saat sang suami minta makan (minta agar dimasakkan makanan) sang istri berkilah “Demi Allah, Syaikh/Ustadz bilang saya tidak wajib melayanimu wahai suamiku”?!? Bagaimana mungkin terwujud rasa cinta kasih antara suami istri yang dijunjung syariat? Bagaimana terwujud pergaulan yang ma’ruf? Ini malah menyelisihi maksud-maksud syariat.

Karena itu saudara-saudaraku, termasuk pemahaman yang baik dalam beragama, adalah tidak menyebarkan setiap yang kalian ketahui. Akan tetapi sebarkanlah sesuatu yang mewujudkan maksud-maksud syariat. Lalu ketika mereka menemukan sesuatu yang asing/unik mereka tampakkan dan sebarkan kepada orang-orang seraya mengatakan, “ini merupakan pendapat ulama”. Memang benar perkataan ini dikatakan oleh sebagian ulama, akan tetapi perkataan ini tidak membuahkan kebaikan di masyarakat.

Wahai sekalian suami dan istri. Selayaknyalah pergaulan yang ma’ruf, kebahagiaan, dan ketenangan rumah tangga menjadi orientasi/dasar kalian. Demi Allah tidaklah hati menjadi tentram sampai rumah tangga itu tentram. Dan tidak akan tentram rumah tangga sampai keluarga bersatu di bawah naungan Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa cinta, dan pergaulan yang baik.

Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda tersebut, pada prinsipnya, hubungan suami istri dalam Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, saling percaya, saling tolong menolong dalam suka dan duka. Seluruh urusan dalam rumah tangga berlandaskan saling ridha dan musyawarah. Masing-masing pihak ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka harus saling menasihati, saling membantu untuk menunaikan tanggung jawab kehidupan suami istri serta pemeliharaan anak-anak dan pendidikan mereka dalam setiap situasi dan kondisi. Rumah tangga tidak akan harmonis jika hubungan yang dibangun atas penuntutan hak, bersifat hitam putih, kaku dan saklek.

Semoga Allah memberkahi istri-istri yang menghabiskan hari-harinya untuk mendidik anak dan memelihara rumah tangganya dengan mengharapkan ridha Allah semata. Dan semoga Allah memberkahi suami-suami yang menghabiskan masa hidupnya dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anaknya, dan tulus membantu istrinya dalam mengerjakan tugas-tugas rumahnya. Semoga Allah meridhai rumah tangga yang dibangun atas azas wata’awanu ‘alal birri wat taqwa, saling menolong dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan. Wallahu a’lam.
 
Sumber berita disini dan disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar